Friday, November 25, 2011

Java War! Opera Diponegoro [1825-0000]

Image

Mungkin jiwa seni opera saya terlalu cetek sehingga saya tidak bisa menikmati opera yang mengusung tema Java War! ini. Atau mungkin juga karena ekspektasi saya yang terlalu berlebihan karena ini adalah pertunjukan pertama saya di Teater Jakarta nan megah itu. Yang pasti saya tidak terinspirasi dan malah menyimpan kekecewaan begitu pertunjukan usai. Perkenalan dan penghormatan untuk para pemain dan pendukung membuat perut saya mual. Seakan mereka belum patut mendapat applaus.

Saya sendiri heran sama diri saya sendiri mengapa saya bisa begitu kesal. Karena biasanya saya bisa menemukan hikmah dibalik hal-hal buruk yang terjadi dengan cepat. Tadi mengapa kali ini tidak? Mungkin karena memang ilmu seni opera saya masih sangat cetek itu. Walaupun begitu, saya akan coba sampaikan apa saja yang membuat saya kecewa mulai dari kedatangan saya di Teater Jakarta.

Kepanitiaan

Keberadaan panitia pelaksana yang banyak dan ada dimana-mana sebenarnya sudah baik. Belum lagi mereka juga cukup helpful dan ramah ke siapa saja. Tapi sayang mereka tidak properly dress. Mereka hanya menggunakan atasan kaos oblong putih dengan sablonan opera diponegoro. Karena yang saya kira mereka minimal menggunakan polo shirt warna gelap (karena pertunjukannya selalu malam) serta memakai ID tag. Dan dengan diadakannya di teater Jakarta, saya membayangkan panitia pria memakai tuxedo dan berambut klimis dan night dress dengan dandanan serta rambut tertata rapi bagi para panitia wanita. Tapi ternyata panitianya merepresentasikan dirinya sama seperti panitia relawan film festival yang digelar di bioskop atau pusat kebudayaan kedutaan negara sahabat.

Iwan Fals

Image

Menurut saya, Iwan Fals adalah bintang pertunjukan ini. Cuma beliau yang terasa sepenuh hati menjalankan perannya. Dengan gaya khasnya yang apa adanya, Bang Iwan mengumandangkan kritik mengenai negeri kita yang carut marut. Walaupun begitu, saya merasa teriakannya itu basi. Mungkin kalau dulu berteriak mengenai segala kejelekan yang terjadi di negeri ini adalah hal yang berani dan menginspirasi banyak orang. Namun ketika masa sekarang ia masih berteriak dengan isi yang sama, ia seperti seseorang yang tidak bisa keluar dari masalah di masa lalu. Ia tidak beradaptasi dengan keadaan sekarang di mana semua orang sudah tahu mengenai carut marut negeri ini, semua sudah berteriak hal yang sama, bahkan pihak penyebab carut marutnya negeri ini pun juga sudah berteriak hal yang sama tersebut. Oke negara kita carut marut, terus? Buat saya, akan lebih baik kalau beliau mulai sedikit mengubah isi teriakannya. Teriakanlah solusi. Atau semangat agar kita tetap kuat menjalani hari demi hari. Suarakanlah kembali suara-suara hati rakyat yang kembali mengecil ini.

Happy Salma

Image

Bagian kostum melakukan tugasnya dengan baik untuk penampilan Happy Salma malam itu. Karakternya sebagai dewi mabuk sang penggoda tergambarkan cocok dengan badan seksinya yang dibalut dress kemben berwarna merah (atau marun?). Namun penampilannya sendiri tidak bisa dibilang yang terbaik, karena perannya tidak berat. Badan seksi = penggoda, bukanlah tugas yang sulit bagi Happy Salma.

Sardono W. Kusumo

Saya juga gagal dibuat kagum oleh penampilan sang sutradara saat ia menari. Karena saya merasa Mas Sardono bisa digantikan siapa saja. Apalagi ketika selesai ia begitu terengah-engah sangat kehabisan nafas. Apalagi gerakan-gerakannya saat memerani Pangeran Diponegoro dewasa seperti kurang tenaga, kurang mantap.

Image

Adegan

Tidak ada adegan perang! Adalah hal yang membuat saya sebal. Opera ini mengusung Java War! Namun tak ada adegan yang mengambarkan itu. Kalaupun dalam bentuk lain seperti perang batin msialnya, itu pun tidak ada. Adegan paling dekat dengan perang adalah adegan perlawanan para pemilik tanah terhaap calo. Saya pikir itu adalah pemanasan sebelum adegan perang sebenarnya. Sayangnya tidak.

Saya pernah menonton teater di sebuah kampus kecil di jalan Buah Batu, Bandung. Saya sudah lupa lakon apa yang dimainkan waktu itu, yang pasti terlihat lebih bagus dan lebih niat. Dalam arti gerakan-gerakannya terasa lebih susah untuk dilakukan dan ekspresi yang keluar tidak lari jauh dari alur cerita. Memberikan arti tersendiri dan yang paling penting pada akhirnya menginspirasi.

Opera Diponegoro berjudul Java War 1825-0000 ini berlangsung mulai tanggal 11 November hingga 13 November 2011. Bertempat di Theater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Saturday, November 19, 2011

Terinspirasi

Image
Tidak banyak orang yang bisa membuat saya penasaran terhadap diri mereka. Biasanya setelah beberapa waktu kenal atau saat berkenalan langsung saya sudah mengerti. Apalagi ketika membaca tulisan mereka yang ditulis secara jujur. Langsung bosan. Tapi hingga sekarang ada salah satu yang membuat saya tetap merasa penasaran walau telah membaca tulisan-tulisannya: Dewi Lestari.
Penyebab utamanya karena entah mengapa setelah membaca tulisannya saya jadi butuh menulis. Bukan hanya ingin tapi butuh. Selalu ada sesuatu yang terpikir dan harus saya ceritakan. Saat itu juga.
Saat ini juga.


Wednesday, September 28, 2011

There's always bad after the good

Why whenever a good thing is about to come, a bad thing happened first? And vice versa. Always like that. Is it because we need to lower expectations or hold the excitement? Or is it just the way it was meant to be? you know, it just the way the world works.

Over time, for me the arrival of a bad thing after a good thing is expected. So, whenever no bad thing after good thing come, i longed for the bad. I know, twisted right? It reminded me of those poor people who blame the rich for their misfortune. That twisted.

I once asked, do you deserve to be happy? I forget my answer. But what is your answer? I’m pretty sure your answer would be: I do. But imagine if you were asked: Do you deserve to suffer? Those who answer I do, which I'm not sure who, deserves playing around in a mental hospital.

Or not?

Because if we thinking it over again, there are two types of people who might answer deserve to suffer. First, the ones who keep pushing their self to feel very happy every single moment of their life so they block any pain, and the other ones are the desperate, who believe that happiness can't be achieved.

Or maybe the one that's been thinking about who deserve to suffer is the one that needs to play around in a mental hospital.

Oh wait, that would be me!

Bummer :D


Saturday, June 11, 2011

What are we?

Image

Are we human? Or are we denser?

A student soon be a master when he/she redefines his/her mind of a teacher from a person to experience. I remember the first time I know how read the Koran was when my teacher resigned. I keep trying read it and found my own ways. I got my perfect balance to ride a bike after falling down too many times by myself because my house helper refused to teach me again. And lots of other things.

That’s why I never good at being ordered to. I rather tried and fall than following order and succeed. Imagine if the orders are silly ones.

So I decided to overdo things. I finished what have been told quickly, then do what I think is best. Some would see it as stubbornness, stone head, even act of rebel. But heck, I’m doing it for the best.

Of course, many times are just waste of time because I didn’t have enough time to do it properly so the result would seem like half-baked. But based on experience, when I got to do it properly, it turned out good for everyone.

But then how can I have more time to do the things while the things keep adding up?

Kill the doubt quickly. Ignoring silly orders. Push the colleagues more to do their job. Lots of frictions, arguments, and dissapointments definitely are coming out. But also great things, better things. And also one of the most important things that have been hard to achieved these days, satisfaction.

And sometimes I get nervous when I see an open door – The Killers


Monday, March 14, 2011

Never Let Me Go

I like Never Let Me Go. The movie that is. It just fits.

You’re born completed, but you don’t seem to have enough time time to live your life. Your whole life is for other people. To stay alive itself not easy, yet you need to do more than just survive because there are others who depend their lives on you.

You're a donor. You give away part of you piece by piece until you finally give all. For others. For a completion. Is the recipient a good people? Bad people? Important people? A beggar? A family? A stranger? It doesn’t matter. Because they’re the recipients and you’re the donor. Bend the destiny all you want, it wouldn’t change. The Guy up there has decided that it’s your fate.

But of course along the way you try to make way. Try to get a ‘deferral’ by showing you’re in love, or create great works to show that you have passion and dream. The things that confirm you have a soul. But guess what? There is no deferral.

In your life you see people having a great life. But you should know that it stops when they’re dead. But you, although your life is not great, your life is for the greater good. As the movie said.

Then you come to a question whether your fate is really any better than the people who received your donor. Or maybe simply none of us never really understand what we’ve lived through.


Monday, February 28, 2011

A farewell note sent out to me last night

Being with you, although it was just for a moment of time, had become one of the best moments in my life. I will always remember how we talked for hours over breakfast, on a bus, on a train, over lunch, over a long walk in the rain, over wine, over dinner. We talked, we listened, we laughed, we felt each other. We were happy.

Then after that, we have endless chat, conversations maybe only us can understand it. A connection that made us ask ourself, "why we didn't do this a long time ago?"

Up until reality struck me. That we both living in different worlds. One is living in the dream of the other. So, before one of us got hurt, I'm saying goodbye now. As we know, we hurt the most the ones we love most. I don't want that to be happen.

I hope you continue living the life I always dream of. A happy life.

Goodbye.



Monday, January 31, 2011

Pulp Theory #3

Human stage of life:

Born – Big Problem – The Dream – Bigger Dream


So if you meet someone that has reached the dream stage or even the bigger dream stage, be friends with with him/her. For rest of your life. As you’ll be helped to reach yours.


Monday, January 03, 2011

Pulp Theory #2

I guess when you're young, you just believe there'll be many people with whom you'll connect with. Later in life, you realize it only happens a few times.

- Celine, Before Sunset -

Tidak pernah mudah menemukan seorang yang dekat apalagi ketika kehilangannya. Begitu yang terjadi pada orang pada umumnya.

Saya sedikit berbeda. Saya bisa lebih gembira ketika kehilangan seseorang.

Bagi saya, kepergian seseorang melahirkan kesempatan untuk bertemu dan dekat dengan seseorang yang lebih baik. Atau setidaknya akan ada pengalaman dan perasaan baru dengan orang yang baru. Baik itu lebih baik atau lebih buruk.

Setiap dipertemukan dengan seseorang yang kemudian menjadi dekat, saya menganggapnya seperti sedang naik sebuah alat transportasi. Seseorang itu akan membawa kita melalui berbagai hal baru hingga sampai di suatu titik yang mengharuskan untuk berpisah. Baik itu teman, sahabat atau pacar (mantan). Berteman sama R, misalnya, merasakan bagaimana berani pulang sekolah sendiri untuk pertama kalinya, lalu berpisah karena kemudian beda sekolah. Atau sama si M, merasakan bagaimana rasanya pertama jatuh cinta tapi nggak lama karena sudah harus pindah. Lalu sama yang lain lagi menjalani dan merasakan berbagai hal yang juga berbeda-beda. Tentu dengan akhir yang berbeda pula.

Saya termasuk yang picky dalam memilih siapa yang bisa dekat. Bukan apa-apa, tapi saya bersyukur diberi kemampuan lebih untuk bisa memilih. Maksudnya, setiap bertemu seseorang yang baru, entah kenapa saya bisa tahu kalau dekat dengan dia apakah akan mengalami hal yang sakit melulu atau sebaliknya. Wah berarti pilih yang akan merasakan enak aja terus! Nggak juga. Karena pengalaman enak/indah, nantinya akan menjadi ingatan yang menyakitkan. Sebaliknya, pengalaman yang menyakitkan bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga nantinya. Lah, terus bagaimana milihnya? Ya, pada akhirnya harus memilih secara imbang. Setelah sakit, pilih yang senang dulu dan sebaliknya. Jadi buat kalian yang merasa dekat dengan saya, selamat, kalian telah mengalahkan jutaan saingan (huek, lebay gila).

Pointnya apa ya ngomong-ngomong? Oh sorry. Apa ya? Loh kok?

Banyak yang saya kenal mengalami masalah berlarut-larut karena pada dasarnya tidak bisa “merelakan” orang terdekatnya pergi, baik karena takdir atau kesalahan pribadi. ntung karena pulp theory ini saya tidak begitu lagi.

Ok. jadi inilah Pulp Theory #2: Kepergian seseorang adalah bel penanda waktunya untuk tertawa.