
Mungkin jiwa seni opera saya terlalu cetek sehingga saya tidak bisa menikmati opera yang mengusung tema Java War! ini. Atau mungkin juga karena ekspektasi saya yang terlalu berlebihan karena ini adalah pertunjukan pertama saya di Teater Jakarta nan megah itu. Yang pasti saya tidak terinspirasi dan malah menyimpan kekecewaan begitu pertunjukan usai. Perkenalan dan penghormatan untuk para pemain dan pendukung membuat perut saya mual. Seakan mereka belum patut mendapat applaus.
Saya sendiri heran sama diri saya sendiri mengapa saya bisa begitu kesal. Karena biasanya saya bisa menemukan hikmah dibalik hal-hal buruk yang terjadi dengan cepat. Tadi mengapa kali ini tidak? Mungkin karena memang ilmu seni opera saya masih sangat cetek itu. Walaupun begitu, saya akan coba sampaikan apa saja yang membuat saya kecewa mulai dari kedatangan saya di Teater Jakarta.
Kepanitiaan
Keberadaan panitia pelaksana yang banyak dan ada dimana-mana sebenarnya sudah baik. Belum lagi mereka juga cukup helpful dan ramah ke siapa saja. Tapi sayang mereka tidak properly dress. Mereka hanya menggunakan atasan kaos oblong putih dengan sablonan opera diponegoro. Karena yang saya kira mereka minimal menggunakan polo shirt warna gelap (karena pertunjukannya selalu malam) serta memakai ID tag. Dan dengan diadakannya di teater Jakarta, saya membayangkan panitia pria memakai tuxedo dan berambut klimis dan night dress dengan dandanan serta rambut tertata rapi bagi para panitia wanita. Tapi ternyata panitianya merepresentasikan dirinya sama seperti panitia relawan film festival yang digelar di bioskop atau pusat kebudayaan kedutaan negara sahabat.
Iwan Fals

Menurut saya, Iwan Fals adalah bintang pertunjukan ini. Cuma beliau yang terasa sepenuh hati menjalankan perannya. Dengan gaya khasnya yang apa adanya, Bang Iwan mengumandangkan kritik mengenai negeri kita yang carut marut. Walaupun begitu, saya merasa teriakannya itu basi. Mungkin kalau dulu berteriak mengenai segala kejelekan yang terjadi di negeri ini adalah hal yang berani dan menginspirasi banyak orang. Namun ketika masa sekarang ia masih berteriak dengan isi yang sama, ia seperti seseorang yang tidak bisa keluar dari masalah di masa lalu. Ia tidak beradaptasi dengan keadaan sekarang di mana semua orang sudah tahu mengenai carut marut negeri ini, semua sudah berteriak hal yang sama, bahkan pihak penyebab carut marutnya negeri ini pun juga sudah berteriak hal yang sama tersebut. Oke negara kita carut marut, terus? Buat saya, akan lebih baik kalau beliau mulai sedikit mengubah isi teriakannya. Teriakanlah solusi. Atau semangat agar kita tetap kuat menjalani hari demi hari. Suarakanlah kembali suara-suara hati rakyat yang kembali mengecil ini.
Happy Salma

Bagian kostum melakukan tugasnya dengan baik untuk penampilan Happy Salma malam itu. Karakternya sebagai dewi mabuk sang penggoda tergambarkan cocok dengan badan seksinya yang dibalut dress kemben berwarna merah (atau marun?). Namun penampilannya sendiri tidak bisa dibilang yang terbaik, karena perannya tidak berat. Badan seksi = penggoda, bukanlah tugas yang sulit bagi Happy Salma.
Sardono W. Kusumo
Saya juga gagal dibuat kagum oleh penampilan sang sutradara saat ia menari. Karena saya merasa Mas Sardono bisa digantikan siapa saja. Apalagi ketika selesai ia begitu terengah-engah sangat kehabisan nafas. Apalagi gerakan-gerakannya saat memerani Pangeran Diponegoro dewasa seperti kurang tenaga, kurang mantap.

Adegan
Tidak ada adegan perang! Adalah hal yang membuat saya sebal. Opera ini mengusung Java War! Namun tak ada adegan yang mengambarkan itu. Kalaupun dalam bentuk lain seperti perang batin msialnya, itu pun tidak ada. Adegan paling dekat dengan perang adalah adegan perlawanan para pemilik tanah terhaap calo. Saya pikir itu adalah pemanasan sebelum adegan perang sebenarnya. Sayangnya tidak.
Saya pernah menonton teater di sebuah kampus kecil di jalan Buah Batu, Bandung. Saya sudah lupa lakon apa yang dimainkan waktu itu, yang pasti terlihat lebih bagus dan lebih niat. Dalam arti gerakan-gerakannya terasa lebih susah untuk dilakukan dan ekspresi yang keluar tidak lari jauh dari alur cerita. Memberikan arti tersendiri dan yang paling penting pada akhirnya menginspirasi.
Opera Diponegoro berjudul Java War 1825-0000 ini berlangsung mulai tanggal 11 November hingga 13 November 2011. Bertempat di Theater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

