kata hati

I’ll Keep Running (to You)….

Ini adalah definisi walau jatuh harus bangkit lagi. Dan bahwa jika sebuah keinginan begitu kuat dalam dirimu, tidak ada yang bisa memadamkannya.

***

Setelah cidera patah jempol kaki akhir Desember lalu, aku agak ragu bakal bisa mewujudkan keinginan untuk full Marathon tahun ini. Pasalnya saat lari, jempol kaki (bersama jari kaki lainnya) akan jadi tumpuan utama. Untunglah meski hasilnya tidak bisa 100% kembali normal, jempolku sembuh dalam kategori baik, menurut dokter yang menangani. Selama masa perawatan dan penyembuhan, aku tetap jalan kaki dan kadang lari, pakai kruk. Sekedar menjaga tetap latihan jantung, dan hasil tambahannya lenganku makin kuat, haha.

Image

Jadi, tes jempol untuk race pertama adalah 5K Run Against Cancer 2025 di bulan Februari. Padahal aku daftar untuk event ini sebelum kecelekaan. Sengaja ambil 5K karena mau menemani anakku. Pas ya. Mungkin karena banyak jalan, jempol relatif aman. Rutenya juga datar-tar-tar.

Ini RAC ke-4 yang aku ikuti. Tahun-tahun sebelumnya start dan finish di Sampoo Kong, kali ini tempat acara dipindah ke POJ. Ganti suasana. Rutenya lebih nyaman sih, karena ga banyak kendaraan. Dan setelah finish bisa menikmati angin pantai. Ahay.

Image

Setelah off lari-larian selama bulan puasa dan lebaran, tes berikutnya di bulan April, mencoba 10K di Tugu Muda Marathon 2025. Sejauh ini masih aman juga. Padahal saat latihan, jempolku mulai nyeri di kilometer 7-8. Karenanya aku masih sangat hati-hati, dan catatan waktuku masih di bawah race 10K terakhir. Rute khas Semarang bawah tetap datar. Agak kurang asik karena bukan lewat Kota Lama, tapi dibawa ke arah barat. Lalu lintas yang lebih rame, kurang steril, dan nggak ada spot yang menarik.

Di Tugu Muda Marathon 2024 aku ikut Half Marathon, dan menjadi saksi kekacauan penyelenggaraan sebuah event lari yang pesertanya konon 4000-an orang. Banyak yang kapok dan ogah berpartisipasi di TMM ke-2 ini. Aku masih berbaik sangka, berharap setelah pelajaran di penyelenggaraan pertama, panitia akan banyak berbenah. Mungkin sudah, ya. Tapi kok rasanya event ini anyep. Pesertanya jauh berkurang, kemeriahannya juga. Serba sederhana dan seadanya. Syukurlah selain itu semuanya rapi. Belum kuputuskan tahun depan mau ikut lagi atau tidak. Mungkin kalau ada hal lain yang menarik…

Image

Seminggu setelah itu, ikut Mangkunegaran Run masih di kategori yang sama. Sekalian tes sepatu baru hehe. Tahun lalu aku telat tahu ada event ini, dan pendaftaran sudah ditutup. Kalau ada event lari di Solo memang sebisa mungkin aku ikut. Selain dekat, rute yang datar seperti di Semarang, biasanya aku lari bareng keluarga, mbak mas, dan ponakan-ponakan yang hobi lari juga.

Sepertinya sepatu baruku ini enak betul. Walau berlari dengan belum berani ngegas, ternyata bisa second PB. Mungkin kali ini aku lebih percaya diri dari seminggu sebelumnya.

Image

Gilanya, di akhir April aku lanjut nanjak ke Gunung Ungaran. Dan sampai puncak (lalu kembali) dengan selamat dan bahagia. Ini adalah naik gunung pertama setelah 30 tahun. Segala sesuatunya berbeda. Dulu selalu nginap, kali ini tektok. Dulu pakai baju dan sepatu seadanya, kadang bahkan pakai sandal jepit. Sekarang pakai sepatu khusus. Rombongannya juga beda. Tapi tetap satu hal yang sama, rasa bebas merdeka ketika sampai di puncak.

Hm… perlukah ditulis khusus tentang perjalanan yang ini?

Image

And I kept on running….

Pertengahan Mei lalu aku beranikan ikut Half Marathon. Ini race HM ke-4 (dan pertama kali ikut Purwokerto Half Marathon), tapi rasanya seperti virgin lagi. Bagaimana tidak? Persiapan untuk ini boleh dibilang ‘secukupnya’. Dari nol banget lari timik-timik di awal Februari, baru berani lari sampai 10 K di bulan April, dan di long run terakhir sejauh 15 K, jempol kiriku menjerit di kilometer 13. Bismillah saktekane saja lah, pokoknya.

Start HM kali ini dihiasi kejutan: kembang api. Seolah berseru, “Menyalaaaaaa runners!!” Jadilah di kilometer pertama ngegas terbawa arus. Baru di kilometer 2 aku sadar mulai mengontrol kecepatan. Sebenarnya otomatis melambat sih, karena kejutan kedua: 10 km pertama full tanjakan! Tanjakan paling gila di km 9 menuju 10. Telapak kakiku mulai kram, dan untuk pertama kalinya sepanjang sejarah ikut race, aku minta semprot ajaib dari tim medis. Di sini mulai muncul perasaan: byuh, kok ra tekan tekan. Untunglah di sepanjang jalan cheering team menyemangati. Bahkan ada masyarakat yang bikin WS dan cheering dadakan.

Masuk kilometer 15 jempol yang dulu cidera mulai merintih. Untung jalanan mulai datar. Sampai kilometer 19, marshall menyemangati, “Ayo semangat, tinggal dua kilometer lagi!” Duh, dua kilometer itu jauh mas….
Di kilometer terakhir biasanya aku ngegas. Tapi kali ini aku masih menjaga ‘yang penting lari dan tidak kram.’ Baru di sekitar 500 meter sebelum finish aku push maksimal.

Setelah 8 water station, satu energy gel, 1 snack bar, belasan cheering team, semprot kaki setiap ketemu tim medis, dan banyak break jalan di 5 km terakhir; akhirnya finish kuat selamat dengan catatan 2:32 menit. Perbaikan 7 menit dari HM terakhir sebelum cidera. Siapa sangka.

Image

Sampai di titik ini, hidup menunjukkan padaku, sekali lagi, bahwa jika sebenarnya keadaan memungkinkan, yang akhirnya menjadikannya ‘mungkin’ atau ‘tidak,’ adalah kita sendiri.

Mungkin aku akan bisa Full Marathon tahun ini. Asal bisa dapat slotnya.

kata hati

lepas

Image

sekeras apa pun aku mempersiapkan diri, ternyata aku tidak cukup siap.

maafkan aku, aku tak pandai berdoa. aku selalu yakin tuhan maha tahu apa yang kualami, apa yang kurasakan, apa yang kubutuhkan. maka ketika orang lain berdoa, aku memilih bercakap-cakap dengannya. kadang aku hanya diam, pasrah. bersyukur atas kasih sayangnya, meski aku masih nakal menjadi hambanya.

pernah aku meminta tuhan untuk memindahkan rasa sakit yang kau tanggung ke tubuhku, karena aku tidak tahan melihat penderitaanmu. sekarang setelah kau pergi, pedih tak kunjung henti.

“tuhan, inikah jawabanmu? kau angkat sakit dari ayahku dan meletakkannya di pundakku?”

tidak, tentu saja tidak. aku tahu. air mata ini masih belum bisa berhenti. orang-orang menyuruhku melepasmu dengan tenang agar kau beristirahat dengan tenang. apa maksudnya? aku tahu kau tenang dalam damai, dan tuhan akan membantuku menemukan damaiku. bisa kudengar kau tertawa sambil berkata, “cengengmu ndak habis-habis.”

sakit yang kau tanggung telah hilang. tapi kau tidak akan pernah hilang. aku menemukanmu di dalam diriku, di setiap hal yang kulakukan mengenangmu.

maafkan aku, aku tidak pandai berdoa. tapi untukmu, aku akan mengirimkan doa terbaik. sugeng tindak, bapak.

kata hati

tik tik tik bukan bunyi hujan

Image

di dalam ruangan yang menjerit setiap pintunya dibuka

mesin-mesin berlomba mendengung dan mendenging

menenggelamkan bunyi lembut tetes cairan

yang menelusur selang masuk ke tubuh

juga tetes air mata yang menyelinap dari sudut mata

ke sudut bantal

genggam lemah tangan itu

yang sedari dulu menguatkanku

kuingin bisa pindahkan segala sakitmu ke dalam tubuhku

kutumpuk dengan rasa sakit membayangkan

melepaskanmu.

Uncategorized

infus

bapak, infusnya seperti jus jeruk

eh? apa aku kurang nutrisi sampai diinfus jus jeruk?

haha bukan. ini obat, tapi warnanya seperti jus jeruk.

ah biarlah.

bapak, infusnya seperti jus buah bit .

bapak.

bapak…

Uncategorized

Pengganggu Rumah Tangga

Image

“Oke, aku juga mau pipis dulu.”

Kututup telepon dan bergegas ke toilet. Sebentar lagi suamiku datang menjemput, mau mengajak makan siang. Tadi pagi tiba-tiba ada ide mendadak. Aku ingin segera diwujudkan, kalau ditunda-tunda nanti hanya akan berakhir jadi wacana. Seperti yang sudah sudah. Membahas lewat chat dan telepon kurang mantap, jadi kami putuskan untuk ngobrol sambil makan siang.

Kembali dari toilet, ponselku berdering lagi. Kupikir suamiku. Ternyata anakku.

“Ibu, bisa makan siang bareng?”

“Oh, iya bisa. Ibu barusan janjian sama Bapak.”

“Makan di mana?”

“Belum tahu, tapi ini Bapak sedang perjalanan jemput Ibu.”

“Kalau gitu aku ke kantor Ibu aja, ya. Nanti tinggal ikut.”

Mereka berdua datang di waktu yang hampir bersamaan. Bertiga sama-sama belum punya ide mau makan di mana. Akhirnya diputuskan untuk makan gudeg di beberapa blok dari kantor.
Warung gudeg tujuan kami tidak terlalu ramai. Ketika sedang menyeberang, seseorang menyapa suamiku.

“Hoi, Mas!”

“Eh, apa kabar? Loh, kok di sini?”

Sepertinya teman yang lama tidak bersua. Ya sudah lah. Aku dan anakku lebih dulu masuk ke warung dan memesan. Suamiku menyusul kemudian, bersama temannya itu.

Pesanan keluar. Aku dan anakku mulai makan. Suamiku masih mengobrol dengan temannya di meja lain.
Aku kirim pesan whatsapp, “Ayo makan. Nanti kalian janjian lagi aja kalau mau ngobrol kangen-kangenan.”

Suamiku pindah ke meja kami.

Seorang pelanggan di meja lain rupanya juga kenal dengan teman suamiku itu. Mereka ngobrol sambil jalan keluar. Oke. Jadi aku bisa mulai membahas ide tadi sekarang.

“Jadi gitu,” kataku, “aku pengin pergi sendiri tapi nanti ngelangut. Kamu kalau nemenin mau nggak, soalnya….”

Orang itu masuk lagi, lalu duduk di kursi di samping meja kami.

“Orang BRI itu tadi,” katanya.

Suamiku manggut-manggut. Teman suamiku lanjut bicara tentang teman-teman mereka yang lain. Menanyai suamiku, selama ini di mana aja, aktivitasnya apa. Aku dan anakku berpandangan.

“Aneh nggak sih?” tanyaku pada anakku dengan gerak bibir.

Anakku mengangguk.

Pria itu terus bicara, dan suamiku terus saja meladeninya.

“Kalau Ibu ingetin, kita lagi mau bahas hal penting, gimana?” aku umak umik lagi ke anakku.

Dia mengangguk setuju.

Aku berdiri ke arah pria itu, “Maaf, Mas. Kami sedang mau bahas masalah penting.”

Dia tampak terkejut, berdiri, lalu minta maaf, “Oh… saya kira sedang santai-santai.”

“Eng… ya santai sih. Tapi ini saya ijin keluar dari tempat kerja, anak saya juga. Janjian di sini sekalian mau bahas hal penting dan mendadak. Maaf ya. Nanti kalau sudah selesai urusannya biar suami saya janjian sama Mas, bisa ngobrol sepuasnya.”

“Oh, iya iya. Gapapa. Nanti saya lanjut WA-nan aja.”

Dia berlalu.
Aku duduk.
Anakku geleng-geleng.

“Yang nggak sopan temenmu ya, bukan aku. Nggak lihat aku lagi bicara serius?”

Suamiku cuma senyum-senyum sambil lanjut makan.

“Jadi kita lanjut bahas sekarang?”