Monday, November 12, 2007
Boyongan
Akhirnya aku memutuskan untuk boyongan ke rumah baru. Kupikir, ruangannya lebih luas. Tetangganya juga lebih banyak. Jadi kalau aku mau mengobrol, aku melongokkan kepala lewat jendela di teras depan.
Benar juga. Rumah baru itu berada di permukiman yang sudah terlanjur padat. Konon ada ribuan penghuni baru setiap harinya. Tapi entahlah, tentu tidak semuanya aktif bercerita. Kalau pun iya, waduh... betapa hiruk pikuknya permukiman baruku itu ya?
Tapi justru hiruk pikuk itu yang menggodaku untuk boyongan. Dua temanku yang rajin ngeblog sudah duluan di situ. Dan kupikir menarik juga untuk mengikuti mereka.
Mampirlah ke rumah baruku di http://www.obrolansenja.wordpress.com/. Seperti biasa, kamu akan kuajak mengobrol di teras rumahku. Kita mengobrol mengobral cerita...
Benar juga. Rumah baru itu berada di permukiman yang sudah terlanjur padat. Konon ada ribuan penghuni baru setiap harinya. Tapi entahlah, tentu tidak semuanya aktif bercerita. Kalau pun iya, waduh... betapa hiruk pikuknya permukiman baruku itu ya?
Tapi justru hiruk pikuk itu yang menggodaku untuk boyongan. Dua temanku yang rajin ngeblog sudah duluan di situ. Dan kupikir menarik juga untuk mengikuti mereka.
Mampirlah ke rumah baruku di http://www.obrolansenja.wordpress.com/. Seperti biasa, kamu akan kuajak mengobrol di teras rumahku. Kita mengobrol mengobral cerita...
Saturday, October 20, 2007
Kartu Mang Ocoy
Aku bertemu dengannya di sepenggal ruas jalan Asia Afrika. Mang Ocoy, demikian ia memperkenalkan dirinya meski ia sebenarnya bernama Asep. Ah, ya kupikir ia memang lebih suka dipanggil Mang Ocoy karena sudah terlalu banyak Asep di Bandung.
Awalnya, aku heran mengapa ia menyebut dirinya mang. Kupikir, sebutan itu hanya cocok untuk lelaki setengah baya. Kemeja kotak-kotak warna krem lengan panjang yang digulung selengan dan celana warna senada membuatnya tak cocok dipanggil mang. Sepatunya pun boot semata kaki, mirip seperti punya seorang teman yang gemar naik gunung. Ia memakai topi ala pak Tino Sidin yang membuatnya makin tampak seperti pelukis jalanan. Kutaksir usianya baru sekitar 35 tahun.
Namun aku salah. Makin lama aku mengobrol dengannya kerut merut di wajahnya pun ikut bicara. Pun makin jelas pula tanda-tanda penuaan yang mampir di kepalanya itu. Di balik topi baretnya, rambutnya yang ikal sudah beruban. Ya, dia sudah pantas disebut mang. Anaknya pun sudah dua, si sulung pun sudah menginjak remaja. Ia pun mengaku sudah berusia 50-an tahun.
Tak hanya tampak seperti seniman, Mang Ocoy memang seniman. Di depan sebuah toko, ia menggantung beberapa lukisan dan sketsa. Macam-macam lukisannya, mulai dari lukisan pemandangan gunung, sawah, laut, pohon kelapa lengkap dengan gubug bambu dan matahari, hingga lukisan wajah artis kesohor seperti Nike Ardila. Selain itu, ia juga membuat kartu ucapan segala macam: Lebaran, ulang tahun, atau cinta. Tinggal bilang apa yang diingini. Namun, bila pemesan tak punya kata ucapan, ia punya setumpuk contoh. Seluruhnya menggunakan kata-kata bersayap berbunga-bunga. Ia akan mengukir kata-kata itu di atas selembar kertas foto. Dengan tangan terampilnya, kertas foto itu diubah menjadi kartu ucapan lengkap dengan hiasan pemandangan yang lagi-lagi ada gunung, pohon kelapa, gubug, dan matahari.
Pagi itu, tanpa terduga, aku mendapatkan satu darinya. Bersampul putih dan tertempel perangko di sudutnya.
Majulah kedepan.. capailah bintang sejatimu
Raihlah semua cita dan citra
Aku yang jauh kan ikut mendo'akan agar
kamu sukses, bahagia, dan tidakkan melupakanku, ok!
Selamat Idul Fitri 1428 H
Mohon Maaf lahir dan bathin
Ya, Mang, terima kasih.
Selamat Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin!
Awalnya, aku heran mengapa ia menyebut dirinya mang. Kupikir, sebutan itu hanya cocok untuk lelaki setengah baya. Kemeja kotak-kotak warna krem lengan panjang yang digulung selengan dan celana warna senada membuatnya tak cocok dipanggil mang. Sepatunya pun boot semata kaki, mirip seperti punya seorang teman yang gemar naik gunung. Ia memakai topi ala pak Tino Sidin yang membuatnya makin tampak seperti pelukis jalanan. Kutaksir usianya baru sekitar 35 tahun.
Namun aku salah. Makin lama aku mengobrol dengannya kerut merut di wajahnya pun ikut bicara. Pun makin jelas pula tanda-tanda penuaan yang mampir di kepalanya itu. Di balik topi baretnya, rambutnya yang ikal sudah beruban. Ya, dia sudah pantas disebut mang. Anaknya pun sudah dua, si sulung pun sudah menginjak remaja. Ia pun mengaku sudah berusia 50-an tahun.
Tak hanya tampak seperti seniman, Mang Ocoy memang seniman. Di depan sebuah toko, ia menggantung beberapa lukisan dan sketsa. Macam-macam lukisannya, mulai dari lukisan pemandangan gunung, sawah, laut, pohon kelapa lengkap dengan gubug bambu dan matahari, hingga lukisan wajah artis kesohor seperti Nike Ardila. Selain itu, ia juga membuat kartu ucapan segala macam: Lebaran, ulang tahun, atau cinta. Tinggal bilang apa yang diingini. Namun, bila pemesan tak punya kata ucapan, ia punya setumpuk contoh. Seluruhnya menggunakan kata-kata bersayap berbunga-bunga. Ia akan mengukir kata-kata itu di atas selembar kertas foto. Dengan tangan terampilnya, kertas foto itu diubah menjadi kartu ucapan lengkap dengan hiasan pemandangan yang lagi-lagi ada gunung, pohon kelapa, gubug, dan matahari.
Pagi itu, tanpa terduga, aku mendapatkan satu darinya. Bersampul putih dan tertempel perangko di sudutnya.
Majulah kedepan.. capailah bintang sejatimu
Raihlah semua cita dan citra
Aku yang jauh kan ikut mendo'akan agar
kamu sukses, bahagia, dan tidakkan melupakanku, ok!
Selamat Idul Fitri 1428 H
Mohon Maaf lahir dan bathin
Ya, Mang, terima kasih.
Selamat Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin!
Labels: Celoteh
Monday, October 08, 2007
Obrolan Sore
BUZZ
Tulisan itu muncul tanpa suara di chat room-ku. Ah, rupanya seorang teman lama yang memang sudah kutunggu selama 30 menit di sore hari ini.
Dua hari lalu, dua pesan singkat yang dikirim dua teman lama mampir ke hapeku. Isinya sama, mengajak bertemu di chat room tepat pukul 5 sore. Sementara mereka berdua juga mengusahakan bikin pertemuan dengan belasan teman yang laen di markas grafis milik Aleks di bilangan Ponggalan. Sore ini mereka berbuka puasa bersama, sebuah tradisi yang selalu kami genggam dalam delapan tahun ini.
Dalam hitunganku, inilah kali pertama kami menyengajakan bertemu sejak aku lulus kuliah tiga tahun lalu. Meski pertemuanku ini hanya di sebuah chat room, tapi cukuplah buatku untuk mengudap masa lalu. Mendadak sore ini rasanya seperti delapan tahun lalu ketika kami masih sering memenuhi plaza kampus dulu.
Yak, kami masih sama seperti yang dulu. Gemar mengumbar canda dan masih saja suka bercerita. Meski cerita kami bersahaja tapi pertemanan kami hangat adanya. Dulu, kami memang suka bermain bersama. Tidak hanya di pelataran kampus. Yogya mutlak menjadi milik kami, tempat berbagi senja di Ngrenehan, atau pagi di kaki Merapi, atau juga siang di Kali Kuning. Kami pun sempat merasai lekukan Wonogiri dan Temanggung yang bergunung-gunung. Sempat juga merasai dinginnya hembusan angin gunung di Tawang Mangu. Ya, pertemanan ini sungguh penuh warna seperti yang sempat terekam dalam jepretan kamera Masroel.
Masa-masa itu seperti mampir kembali sore ini di layar komputerku. Meski tawa dan senyum digantikan oleh si smiley emoticon tak mengapa. Sore ini tetaplah menjadi milik kami.
Mari teman, kita bermain bersama lagi!
Tulisan itu muncul tanpa suara di chat room-ku. Ah, rupanya seorang teman lama yang memang sudah kutunggu selama 30 menit di sore hari ini.
Dua hari lalu, dua pesan singkat yang dikirim dua teman lama mampir ke hapeku. Isinya sama, mengajak bertemu di chat room tepat pukul 5 sore. Sementara mereka berdua juga mengusahakan bikin pertemuan dengan belasan teman yang laen di markas grafis milik Aleks di bilangan Ponggalan. Sore ini mereka berbuka puasa bersama, sebuah tradisi yang selalu kami genggam dalam delapan tahun ini.
Dalam hitunganku, inilah kali pertama kami menyengajakan bertemu sejak aku lulus kuliah tiga tahun lalu. Meski pertemuanku ini hanya di sebuah chat room, tapi cukuplah buatku untuk mengudap masa lalu. Mendadak sore ini rasanya seperti delapan tahun lalu ketika kami masih sering memenuhi plaza kampus dulu.
Yak, kami masih sama seperti yang dulu. Gemar mengumbar canda dan masih saja suka bercerita. Meski cerita kami bersahaja tapi pertemanan kami hangat adanya. Dulu, kami memang suka bermain bersama. Tidak hanya di pelataran kampus. Yogya mutlak menjadi milik kami, tempat berbagi senja di Ngrenehan, atau pagi di kaki Merapi, atau juga siang di Kali Kuning. Kami pun sempat merasai lekukan Wonogiri dan Temanggung yang bergunung-gunung. Sempat juga merasai dinginnya hembusan angin gunung di Tawang Mangu. Ya, pertemanan ini sungguh penuh warna seperti yang sempat terekam dalam jepretan kamera Masroel.
Masa-masa itu seperti mampir kembali sore ini di layar komputerku. Meski tawa dan senyum digantikan oleh si smiley emoticon tak mengapa. Sore ini tetaplah menjadi milik kami.
Mari teman, kita bermain bersama lagi!
Labels: Celoteh
Thursday, September 27, 2007
Matahari Pakai Payung … Mau Shoping, nih?
Belum genap jam 11 ketika kami di dalam ruangan ber AC dikejutkan oleh teriakan Yenti, “Lihat-lihat matahari, bagus banget deh!” sambil berlari-lari menuju jendela.
Sontak yang lain mengikuti. Benar saja. Dari jendela mati di dinding itu terlihat matahari siang itu tidak biasa. Ada cincin pelangi di sekelilingnya. Matahari jadi seperti bola api kecil di tengah lingkaran besar.
Rombongan yang kegirangan dengan fenomena menakjubkan itu segera berlari ke lantai lima. Dari lantai puncak gedung jelas terlihat bagaimana cantiknya sang matahari yang terlihat sedang dipayungi bayangan gelap tepat di atas kepala kami.
Tak sabar ingin berbagi cerita tentang pemandangan menakjubkan itu, aku pun mengirimkan pesan singkat ke beberapa teman salah satunya tentu ke pasangan duet mawutku: si tetangga kamar kos.
Niks, matahari bgs. Cepat2!
Beberapa menit kemudian muncul balasan yang tak kalah menakjubkan.
Bgs-mksdmu bigsale?kpn gt?akhrny aq g kmana2 ndah.
Tobaaat.... Rupanya si tetangga kamar itu mengira topik siang itu adalah Matahari yang jualan segala macam barang. Ada yang shoping minded ternyata!
Sontak yang lain mengikuti. Benar saja. Dari jendela mati di dinding itu terlihat matahari siang itu tidak biasa. Ada cincin pelangi di sekelilingnya. Matahari jadi seperti bola api kecil di tengah lingkaran besar.
Rombongan yang kegirangan dengan fenomena menakjubkan itu segera berlari ke lantai lima. Dari lantai puncak gedung jelas terlihat bagaimana cantiknya sang matahari yang terlihat sedang dipayungi bayangan gelap tepat di atas kepala kami.
Tak sabar ingin berbagi cerita tentang pemandangan menakjubkan itu, aku pun mengirimkan pesan singkat ke beberapa teman salah satunya tentu ke pasangan duet mawutku: si tetangga kamar kos.
Niks, matahari bgs. Cepat2!
Beberapa menit kemudian muncul balasan yang tak kalah menakjubkan.
Bgs-mksdmu bigsale?kpn gt?akhrny aq g kmana2 ndah.
Tobaaat.... Rupanya si tetangga kamar itu mengira topik siang itu adalah Matahari yang jualan segala macam barang. Ada yang shoping minded ternyata!
Labels: Celoteh
Wednesday, September 26, 2007
Cerita Angin
Semalam angin bercerita tentang sebuah negeri yang jauh. Negeri di ujung timur dengan hamparan laut biru kehijauan dan padang coklat kemerahan.
”Kau tau, mengapa lautnya begitu biru?” tanya angin. Senja yang duduk dihadapannya menggeleng. ”Karena itu adalah laut kesedihan yang menampung tangisan ribuan orang.”
Senja terhenyak. Tak pernah ia tahu ada kesedihan yang dapat meluap sedemikian hebat dan terabadikan dalam lautan yang bertahan ribuan abad.
”Penduduk negeri menangis ribuan tahun, hati mereka yang telah beku dan membiru larut terbawa hujan. Mengaliri lembah, memenuhi anak-anak sungai. Sampai di laut, larutan biru mengubah laut yang semula berwarna hijau rumput menjadi kebiruan.” tutur angin lembut.
Angin berhembus pelan. Ia mengatur nafasnya sebelum memulai lagi ceritanya. ”Semua membiru, hanya padangnya yang tidak. Aku melihat semuanya senja, bagaimana hamparan padang itu memerah karena tergenang darah. Darah para pemberani yang terbuang dalam kesia-siaan. Sejak itu tak satu batang rumput pun dapat tumbuh. Tanahnya menjadi gersang berwarna coklat kemerahan.”
”Tidak tidak, aku bahkan tak mau lagi ke sana. Dan tak ada yang mau. Aku hanya melihatnya lewat sebuah celah sempit. Kini ada tembok setinggi manusia berdiri yang memisahkan kematian dan kehidupan. Tak ada yang mau mengantarku masuk.”
”Negeri itu indah namun tak bertuan, senja. Hanya ada seorang guru yang kutemui pada sebuah kapal yang bergegas berlayar meninggalkan negeri itu. Darinya aku tahu, negeri itu sudah terlalu berdarah untuk dipertahankan.”
Semalam angin bercerita tentang tragedi di sebuah negeri. Tragedi di Santa Cruz, Dili 12 November 1991.
”Kau tau, mengapa lautnya begitu biru?” tanya angin. Senja yang duduk dihadapannya menggeleng. ”Karena itu adalah laut kesedihan yang menampung tangisan ribuan orang.”
Senja terhenyak. Tak pernah ia tahu ada kesedihan yang dapat meluap sedemikian hebat dan terabadikan dalam lautan yang bertahan ribuan abad.
”Penduduk negeri menangis ribuan tahun, hati mereka yang telah beku dan membiru larut terbawa hujan. Mengaliri lembah, memenuhi anak-anak sungai. Sampai di laut, larutan biru mengubah laut yang semula berwarna hijau rumput menjadi kebiruan.” tutur angin lembut.
Angin berhembus pelan. Ia mengatur nafasnya sebelum memulai lagi ceritanya. ”Semua membiru, hanya padangnya yang tidak. Aku melihat semuanya senja, bagaimana hamparan padang itu memerah karena tergenang darah. Darah para pemberani yang terbuang dalam kesia-siaan. Sejak itu tak satu batang rumput pun dapat tumbuh. Tanahnya menjadi gersang berwarna coklat kemerahan.”
”Tidak tidak, aku bahkan tak mau lagi ke sana. Dan tak ada yang mau. Aku hanya melihatnya lewat sebuah celah sempit. Kini ada tembok setinggi manusia berdiri yang memisahkan kematian dan kehidupan. Tak ada yang mau mengantarku masuk.”
”Negeri itu indah namun tak bertuan, senja. Hanya ada seorang guru yang kutemui pada sebuah kapal yang bergegas berlayar meninggalkan negeri itu. Darinya aku tahu, negeri itu sudah terlalu berdarah untuk dipertahankan.”
Semalam angin bercerita tentang tragedi di sebuah negeri. Tragedi di Santa Cruz, Dili 12 November 1991.
Labels: Celoteh
Sunday, September 23, 2007
Seminggu Meja Baru
Aku punya meja baru yang kubeli minggu lalu di Lapangan Gasibu. Meja itu terbuat dari kayu tak berplitur. Kaki-kakinya langsing kecil yang bisa dilipat ke badan meja persis seperti meja setrika. Sementara permukaan meja dibungkus kain warna hitam yang di atasnya terpampang gambar mobil BMW yang juga hitam. Seluruh permukaan meja itu dilapisi plastik bening.
Di antara tumpukan meja model serupa di Lapangan Gasibu, meja itulah yang paling sempurna. Paling tidak, gambar BMW tertempel mulus, kaki mejanya tidak doyong ke kanan atau ke kiri, dan yang pasti permukaannya cukup lebar untuk menampung rentangan dua siku tanganku. Yak yak, meja seharga 25 ribu itu membuat niat belajarku berkobar-kobar!
Iya belajar! Sudah hampir empat bulan ini aku ikut les bahasa Perancis kelas dasar banget. Dan selama itu pula aku menyalin catatan, membaca diktat, atau membuat flash card dengan menelungkupkan badanku di lantai. Jelas lah pegel. Posisi tulang punggung yang tidak semestinya bikin punggungku nyeri.
Nyeri punggung itu juga yang lantas membuatku berpikir betapa nyaman jika aku punya meja kecil nan praktis lagi ringan sebagai tempat menulis apapun. Bagaimana pun juga meja itu akan mendukung kebiasaanku menulis mulai dari hal penting seperti pembukuan pribadi yang selalu tekor hingga pembukuan harian celoteh yang isinya banyak gak penting. Dan bagai botol bertemu tutupnya, keinginanku pun membayang nyata ketika tetangga sebelah kamar membeli meja kecil nan praktis lagi ringan. Dia pula yang membawaku ke bapak penjual meja di Lapangan Gasibu itu.
Tapi keinginan tak selalu seiring kenyataan. Sudah seminggu meja baru itu di kamarku, aku belum menggunakannya. Padahal, niatnya semula adalah "kalau punya meja kecil nan praktis lagi ringan, aku akan rajin belajar." Ternyata kok ya tidak ...
Di antara tumpukan meja model serupa di Lapangan Gasibu, meja itulah yang paling sempurna. Paling tidak, gambar BMW tertempel mulus, kaki mejanya tidak doyong ke kanan atau ke kiri, dan yang pasti permukaannya cukup lebar untuk menampung rentangan dua siku tanganku. Yak yak, meja seharga 25 ribu itu membuat niat belajarku berkobar-kobar!
Iya belajar! Sudah hampir empat bulan ini aku ikut les bahasa Perancis kelas dasar banget. Dan selama itu pula aku menyalin catatan, membaca diktat, atau membuat flash card dengan menelungkupkan badanku di lantai. Jelas lah pegel. Posisi tulang punggung yang tidak semestinya bikin punggungku nyeri.
Nyeri punggung itu juga yang lantas membuatku berpikir betapa nyaman jika aku punya meja kecil nan praktis lagi ringan sebagai tempat menulis apapun. Bagaimana pun juga meja itu akan mendukung kebiasaanku menulis mulai dari hal penting seperti pembukuan pribadi yang selalu tekor hingga pembukuan harian celoteh yang isinya banyak gak penting. Dan bagai botol bertemu tutupnya, keinginanku pun membayang nyata ketika tetangga sebelah kamar membeli meja kecil nan praktis lagi ringan. Dia pula yang membawaku ke bapak penjual meja di Lapangan Gasibu itu.
Tapi keinginan tak selalu seiring kenyataan. Sudah seminggu meja baru itu di kamarku, aku belum menggunakannya. Padahal, niatnya semula adalah "kalau punya meja kecil nan praktis lagi ringan, aku akan rajin belajar." Ternyata kok ya tidak ...
Labels: Celoteh
Monday, September 03, 2007
Suatu Siang di Gedung Sialan
Memasuki pelataran parkir gedung di sudut Jalan Japati. Perasaanku sudah tidak tenang. Sepotong masa lalu sekilas lewat.
Aku parkir motorku tepat di bawah pohon beringin rindang. Parkiran motor yang penuh itu membuat aku dan motorku harus berdesak-desakan. Tapi sesungguhnya emosiku yang saat itu terdesak. Segumpal memori melesak menggedor jantung dan paru-paruku.
Aku harus menghadapinya... Jantungku mendetakkan irama teratur: nal nal nal.. jangan emosional!
Aku menjejakkan kaki di teras gedung. Pintu kaca yang diprogram otomatis sontak terbuka. Jantungku masih sama mendetakkan irama teratur: nal nal nal ... jadilah profesional!
Kurasakan wajahku memanas. Aku tahu tidak akan menemukan wajah lelaki itu di gedung itu. Tentu saja, karena tempatnya memang bukan di situ. Tapi gedung sialan itu mengingatkanku pada impian dan harapannya.
Yang kutemui siang tadi adalah seorang front officer merangkap operator telepon yang duduk dengan malas. Tanpa senyum dia menyapaku. Dari punggungnya yang selalu bersandar di kursi empuknya itu, dan kepala yang sedikit doyong dari badannya, aku tahu, dia malas menerimaku. Aku pun memasang tampang tak kalah malas. Tak ada basa-basi. Tak ada kata permisi. Aku ingin bergegas pergi.
Sampai di parkiran aku cuma bisa mengutuki diriku. Baru beberapa bulan, dan rasa itu masihlah bercokol di dadaku. Hunjaman pisau itu terlalu dalam. Meski sudah tercabut, bekas pisau menanggalkan luka yang masih basah. Saat itu juga aku berdoa semoga luka itu tidak menjadi borok di tubuhku!
"Sini kubantu keluarkan motor, kamu tampak bingung!" Lelaki yang sedari tadi ada di sampingku bersuara semilir angin. Dengan sigap, ia mengambil alih motorku, mengeluarkannya dari impitan motor-motor di parkiran gedung sialan itu. Tanpa sengaja dia menyentuh punggung tanganku dan seketika memori masa lalu buyar. Ah, dunia kiranya masih sudi berputar...
Aku parkir motorku tepat di bawah pohon beringin rindang. Parkiran motor yang penuh itu membuat aku dan motorku harus berdesak-desakan. Tapi sesungguhnya emosiku yang saat itu terdesak. Segumpal memori melesak menggedor jantung dan paru-paruku.
Aku harus menghadapinya... Jantungku mendetakkan irama teratur: nal nal nal.. jangan emosional!
Aku menjejakkan kaki di teras gedung. Pintu kaca yang diprogram otomatis sontak terbuka. Jantungku masih sama mendetakkan irama teratur: nal nal nal ... jadilah profesional!
Kurasakan wajahku memanas. Aku tahu tidak akan menemukan wajah lelaki itu di gedung itu. Tentu saja, karena tempatnya memang bukan di situ. Tapi gedung sialan itu mengingatkanku pada impian dan harapannya.
Yang kutemui siang tadi adalah seorang front officer merangkap operator telepon yang duduk dengan malas. Tanpa senyum dia menyapaku. Dari punggungnya yang selalu bersandar di kursi empuknya itu, dan kepala yang sedikit doyong dari badannya, aku tahu, dia malas menerimaku. Aku pun memasang tampang tak kalah malas. Tak ada basa-basi. Tak ada kata permisi. Aku ingin bergegas pergi.
Sampai di parkiran aku cuma bisa mengutuki diriku. Baru beberapa bulan, dan rasa itu masihlah bercokol di dadaku. Hunjaman pisau itu terlalu dalam. Meski sudah tercabut, bekas pisau menanggalkan luka yang masih basah. Saat itu juga aku berdoa semoga luka itu tidak menjadi borok di tubuhku!
"Sini kubantu keluarkan motor, kamu tampak bingung!" Lelaki yang sedari tadi ada di sampingku bersuara semilir angin. Dengan sigap, ia mengambil alih motorku, mengeluarkannya dari impitan motor-motor di parkiran gedung sialan itu. Tanpa sengaja dia menyentuh punggung tanganku dan seketika memori masa lalu buyar. Ah, dunia kiranya masih sudi berputar...
Labels: Celoteh